Rumah-rumah terbuat dari kayu berbetuk panggung terlihat berjejer padat, sambung-menyambung oleh jembatan kayu diatas laut berwarna biru yang tenang. Perahu-perahu kayu bermesin kecil terlihat bersandar di setiap rumah panggung, orang-orang sibuk mengemudikan perahu kayu, berlalu-lalang dari rumah ke rumah, memecah ketenangan laut, sepajang mata memandang. Pulau ini bernama Kabalutan, salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Tojo Una-Una, bagian dari Gugusan Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah yang mayoritas dihuni oleh Suku Bajo.
Menurut sejarah, Suku Bajo di Kepulauan Togean berasal dari negara tetangga, Filipina Selatan, yaitu dari Kepulauan Sulu yang hidup berpindah-pindah di lautan lepas. Dari perjalanan di laut lepas membawa mereka masuk ke wilayah Indonesia, salah satunya di sekitar Pulau Sulawesi, ratusan tahun lalu.
Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung. Orang-orang Bajo memiliki kemampuan berenang dan menyelam dengan durasi yang cukup panjang tanpa alat bantu pernafasan, mereka menyelam mencari ikan, udang ataupun gurita dengan alat tradisional seperti panah. Bahkan anak-anak kecil seusia TK-SD sudah sangat pandai berenang dan menyelam.
Dibalik keindahan Taman nasional Kepulauan Togean yang dikenal dengan terumbu karang dan ikan-ikannya yang indah, dan dikenal pulau sebagai kampung pelaut handal dengan suku bajonya, Pulau kabalutan juga terkenal sebagai kampung janda. Disebut “Kampung Janda” karena banyak perempuan berstatus janda. Sampai tahun 2018, dua ratus lebih janda yang masih berusia produktif 15 – 40 tahun. Dengan jumlah total penduduknya sekitar -+ 2500 jiwa. Hal tersebut diceritan oleh Fandy (41), seorang Pegawai Negeri Sipil di Dinas Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una yang kebetulan sedang bertugas dinas di Kabalutan.
Menurut Fandy, ada semacam budaya yang berkembang di Kabalutan, terkait dengan banyaknya janda di sini. Perempuan kabalutan yg menikah dengan orang luar, nantinya perempuan tersebut tidak boleh dibawa keluar pulau, walaupun sudah mempunyai anak. Ketika ada laki-laki berasal dari luar pulau, mereka tidak bisa mengajak istri dan anaknya keluar pulau tersebut. Apabila memaksa, maka pilihannya hanya dua, menetap atau cerai.
Budaya tersebut yang membuat banyak perempuan di Kabalutan berstatus Janda. Untuk menikah mudah, begitu juga dengan cerai, cukup dibawa kepengulu sudah sah. Ujar Fandy.
Kehidupan masyarakat kabalutan mayoritas dibawah garis kemiskinan dalam parameter UMK di Kabupaten Tojo Una-Una. Begitu juga pendididikan, rata-rata hanya sampai SD dan lulusan SMP hanya sebagian kecil. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menjadi nelayan, mencari ikan, udang, gurita, untuk dimakan dan sebagian dijual. Ada juga yang mulai budidaya rumput laut.
Terkait dengan budaya tersebut, menurut Fandy, pemerintah Tojo Una-Una sejak lama berusaha merubah budaya tersebut. Tetapi tidak mudah, karena budaya tersebut sudah sangat mengakar dan masih berjalan sampai sekarang. Menurutnya, faktor SDM lah yang sulit untuk merubah budaya mereka. Walaupun pemerintah sudah beberapa kali memberi penyuluhan.
Selain memajukan dan mempromosikan Taman Nasional Kepulauan Togean, Pemerintah Tojo-Una-Una juga mempunyai pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya, yaitu terus meningkatkan penyuluhan dan pembinaan supaya budaya yang menjadikan “Kampung Janda” di Kabalutan menjadi budaya yang lebih baik, baik dalam ekonomi dan pendidikan.